Langsung ke konten utama

Kedalaman hati


"Dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tau"
-pepatah

Pepatah lama yang tiba-tiba teringat kembali. Tidak ada seorang ahli pun atau siapapun yang benar-benar mengetahui dangkal atau kedalaman hati setiap orang, kecuali kita sendiri. Maka ada batasan dimana kedalaman hati bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan atau membahayakan.

Berbicara tentang lautan, setiap dari kita sebetulnya adalah seorang perenang. Perenang yang tidak saling tahu dimana atau kapan tepatnya akan tertelan ombak lautan. Bagaimana jika lautan tiba-tiba pasang? Padahal awalnya tenang. Atau kita adalah perenang yang bisa menikmati dalamnya lautan?

Jika engkau adalah seorang perenang, menyelami lautan yang sebelumnya belum pernah engkau jelajahi, maka kemungkinannnya ada dua. Kembali ke permukaan, atau tenggelam.

Jika engkau tidak benar-benar yakin untuk menyelami dalamnya lautan, maka kau harus siap menghadapi resiko tenggelam lalu sulit untuk kembali ke permukaan.

Jika engkau siap untuk mengarungi dalamnya lautan, maka siapkanlah peralatanmu untuk bertahan diantara ombak yang mungkin akan menggagalkanmu menyelami lautan. Engkau mungkin perlu tabung oksigen, pakaian renang, fisik yang kuat, ya seperti itu. Maka bukan masalah jika kau bisa bertahan di dalamnya lautan tanpa takut tenggelam.

Jika kau pemula, nikmatilah lautan. Pemandangannya, angin pantainya, deburan ombaknya, burung pantai yang beterbangan. Berbahaya bagi seorang pemula untuk menyelami lautan. Kau tidak akan terbiasa. Menikmati indahnya lautan mungkin mampu mengobati kerinduan, membendung keinginan untuk menyelami lautan karena ketidaksiapan.

Aku berharap menjadi seorang perenang yang handal, sehingga aku tau batas dimana aku bisa bertahan menyelami lautan atau naik kembali ke permukaan untuk sekedar menikmati indahnya lautan.
Sesederhana itu.

Mau, kau ajari aku bagaimana untuk menyelami dalamnya lautan (hati) ?
Aku tidak ingin tenggelam lagi


-Purwokerto, dalam batas


Komentar

Postingan populer dari blog ini

tahun terakhir

readers, tepat tanggal 2 september usia kuliahku adalah semester 7. semester yang dianggap (memang) angker buat sebagian besar mahasiswa (termasuk saya). menurutku, skripsi itu masterpiece dari pemikiran sendiri (dibantu dosbing) sebagai syarat kelulusan (skor toefl juga). agenda semester tujuh ini diantaranya kuliah di kelas, praktek 1 stase yaitu Kegawatdaruratan (ICU dan IGD), dan KKN yang ambil jatah liburan. kesimpulannya, semester depan enggak bisa pulang kampung. The last but not least, ada masterpiece scriptsweet bersama tujuh temen lainnya. kita sering banget bareng kalo mikin makalah mata kuliah. miss you guys :* next --> semester 8 semoga semester ini sudah bisa wisuda yaa. rencana April 2014 udah wisuda . Aamiin. semoga bisa wisuda bareng temen-temen ICON :D dan di semester ini ada pelatihan BTCLS, semacem pelatihan pemberian aksi pertama yang dilakukan terhadap pasien gawat darurat (henti nafas, henti jantung). untuk pelatihan itu denger-denger memakan biaya...

inilah rasa tenteram

pertanyaan ini sudah lama aku simpan "mengapa bahu laki-laki selalu lebih lebar  daripada perempuan?" mereka bilang, bahu sebagai tempat bersandar. tetapi, jika dilihat dengan seksama, tangan laki-laki pun selalu lebih panjang perempuan diciptakan lebih mungil daripada laki-laki. entah tangannya, pundaknya, bahunya, bahkan jemarinya. tapi perempuan bukan sosok yang lemah, lelaki juga bukan sosok yang selalu lebih kuat daripada seorang perempuan bahu laki-laki lebih lebar, sebagai penopang perempuan, pun tangannya yang lebih panjang agar selalu menjaga perempuannya dari hal-hal yang membahayakan. selalu mempertahankan dan menjaga perempuannya agar selalu ada di sampingnya, di pelukannya. lalu apa yang kau rasakan? bukankah itu menenteramkan? bukankah itu menenangkan? wanita dengan tubuh yang mungil, bahu yang lebih sempit serta jemari yang lebih kecil, sebagai pelipur saat apapun yang kau anggap besar menjatuhkanmu membuatmu terduduk sedih. perempuan dengan ...

sendiri

Nyatanya, sen diri a dalah hal yang ti dak ingin orang lain rasakan. Betapapun berat usahanya untuk menja di ber dua.  Nyatanya, sen diri a dalah hal yang menyesakkan ketika sa dar bahwa  di hatinya tak a da yang ja di pegangan. Tuhan pun ti dak a da  dalam hatinya Lalu ketika ga dis itu menya dari  dirinya se dang bera da  di tepi, bingung kemana ia harus berpegangan untuk bertahan. Seorang laki-laki berusaha men dekat, entah apa maksu d  daripa da niatnya men dekati ga dis itu. Lelaki itu mengulurkan tangan, tetapi ujung jari ke dua orang tersebut bahkan sulit untuk bertemu. Seorang ga dis mun dur selangkah, se dangkan laki-laki itu maju selangkah. Lalu, ke dua orang tersebut mencoba menerka-nerka apa yang a da  dalam hatinya masing-masing